Arsip Artikel
“Peran Orang Tua dan Pendidikan Agama Islam dalam Mencegah Pernikahan Dini”
(Aulia Rochmani Lazuardi, S.H.)
Pendahuluan
Latar Belakang
Perkawinan di bawah umur banyak terjadi di berbagai negara terutama negara berkembang. Di Indonesia, perkawinan di bawah umur bukanlah hal yang baru dan bahkan sudah menjadi budaya masyarakat Indonesia. Pada faktanya perkawinan di bawah umur sering terjadi karena sejumlah alasan dan pandangan baik secara hukum, agama dan tradisi dan budaya di masyarakat. Perkawinan di bawah umur dinilai menjadi masalah serius dan menimbulkan kontroversi di kalangan Masyarakat. Perkawinan di bawah umur memiliki dampak buruk tidak hanya pada anak yang bersangkutan tetapi pada masa depan anak tersebut. Dari segi kesehatan antara lain risiko stunting pada anak, Angka Kematian Bayi (AKB), begitu pula risiko kematian ibu melahirkan usia muda. Adapun dampak buruk lainnya adalah rentan terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan perceraian. Hal tersebut terjadi karena tidak diimbangi dengan kematangan mental dan pengendalian diri yang sempurna. Perkawinan di bawah umur diperkirakan, di seluruh dunia terdapat 12 (dua belas) juta anak perempuan, atau dengan perbandingan 1 (satu) orang dari 5 (lima) orang anak perempuan telah menikah sebelum berusia 18 tahun. Bahkan di negara berkembang, satu dari tiga anak perempuan menikah sebelum berusia 18 tahun, dan satu dari sembilan anak perempuan menikah sebelum berusia 15 tahun. Secara umum, anak perempuan menikah di usia yang lebih muda bahkan seringkali terdapat kesenjangan usia yang besar antara pasangan laki-laki dan perempuan. (Candra, 2021)
Menurut UNICEF, Indonesia memiliki angka absolut pengantin anak kedelapan tertinggi di dunia sebesar 1.459.000 (satu juta empat ratus lima puluh sembilan ribu) pengantin anak. Secara nasional prevalensi di Indonesia adalah 11.2% anak perempuan menikah sebelum berusia 18 tahun dan 0.5% dari anak perempuan tersebut menikah pada saat mereka berusia 15 tahun berdasarkan data Statistik Kesejahteraan Rakyat tahun 2018. (BADAN PUSAT STATISTIK, 2018). Masih sekitar 1 dari 9 perempuan berusia 20 – 24 tahun melangsungkan perkawinan pertama sebelum usia 18 tahun. Di Indonesia, terdapat lebih dari satu juta perempuan usia 20 – 24 tahun yang perkawinan pertamanya terjadi pada usia kurang dari 18 tahun (1,2 juta jiwa). Sedangkan perempuan usia 20-24 tahun yang melangsungkan perkawinan pertama sebelum berusia 15 tahun tercatat sebanyak 61,3 ribu Perempuan. (BPS, BAPPENAS, PUSKAPA, UI, UNICEF, 2020)
Salah satu syarat dalam Undang-Undang Perkawinan yaitu mengatur mengenai batasan umur terendah dalam melangsungkan pernikahan. Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa batas usia perkawinan bagi laki-laki adalah 19 tahun dan bagi perempuan adalah 16 tahun. Bunyi pasal tersebut, yakni:
“Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.”
Kemudian aturan tersebut diperbarui dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diubah menjadi 19 tahun bagi laki-laki dan Perempuan. Ketentuan tersebut berbunyi:
Pasal 7
- (1) Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas)tahun.
Pernikahan dini masih menjadi permasalahan sosial yang cukup serius di berbagai daerah di Indonesia. Banyak remaja yang menikah sebelum mencapai usia matang, baik secara fisik maupun mental. Kondisi ini sering kali dipicu oleh rendahnya pengetahuan tentang pentingnya pendidikan, faktor ekonomi, serta kurangnya pengawasan dan bimbingan dari orang tua.
Peran orang tua sangat penting dalam memberikan nilai-nilai moral, nasihat, serta dorongan agar anak fokus pada pendidikan dan pengembangan diri terlebih dahulu sebelum menikah. Sementara itu, pendidikan berperan besar dalam membuka wawasan generasi muda mengenai risiko pernikahan dini, seperti kesehatan reproduksi, kesiapan psikologis, dan dampaknya terhadap masa depan. Dengan sinergi antara bimbingan orang tua dan pendidikan yang baik, risiko terjadinya pernikahan dini dapat diminimalisasi dan masa depan anak dapat terjaga lebih baik.
Rumusan Masalah
- Apa saja faktor penyebab pernikahan dini di Indonesia?
- Bagaimana peran orang tua dan pendidikan agama dalam mencegah terjadinya perkawinan anak?
Metode Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan oleh penulis adalah kualitatif-normatif. Penulis dalam menyusun penulisan ini menggunakan bahan-bahan kepustakaan seperti bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. (1) Bahan hukum primer yang digunakan bersumber dari undang-undang, ayat dan hadis, atau buku-buku yang relevan dengan judul. (2) Sedangkan untuk bahan hukum sekunder, penulis peroleh dari internet baik itu berupa artikel, jurnal, opini, maupun tulisan lainnya yang menunjang data primer yang penulis gunakan. (3) Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum pelengkap, berupa kamus untuk menerjemahkan kata-kata yang tidak dimengerti. Adapun Teknik analisis data dalam penulisan ini menggunakan teknik analisis data secara kualitatif. Data kualitatif adalah jenis data yang bersifat deskriptif dan lebih fokus pada interpretasi dan pemahaman subjek yang diteliti. Jenis penelitian kualitatif bersifat deskriptif dan cenderung menggunakan analisis. (Ramdhan, 2021)
Hasil Penelitian dan Pembahasan
- Faktor penyebab pernikahan dini di Indonesia
Fenomena pernikahan dini masih menjadi persoalan serius di berbagai daerah di Indonesia. Meskipun Undang-Undang telah menetapkan usia minimal menikah adalah 19 tahun, kenyataannya banyak anak—terutama remaja perempuan—yang menikah di usia belasan tahun. Alasan yang melatarbelakangi pun beragam, mulai dari faktor ekonomi, rendahnya pendidikan, kehamilan di luar nikah, hingga tekanan sosial dan budaya yang menganggap menikah sebagai jalan keluar terbaik. Pernikahan dini umumnya terjadi karena kombinasi faktor pendidikan, ekonomi, dan budaya. Rendahnya tingkat pendidikan membuat remaja dan orang tua kurang memahami informasi tentang risiko dan dampak negatif menikah di usia muda. Kondisi ekonomi yang sulit juga mendorong keluarga untuk menikahkan anaknya lebih cepat, dengan harapan dapat meringankan beban hidup dan menambah stabilitas ekonomi keluarga. Selain itu, nilai-nilai budaya tertentu masih memandang pernikahan dini sebagai bentuk perlindungan terhadap anak perempuan, baik untuk menjaga kehormatan maupun memastikan “masa depan” melalui pernikahan.
Di sisi lain, perilaku hubungan pranikah dan kehamilan di luar nikah sering menjadi alasan paling dominan yang mendorong terjadinya perkawinan anak. Semua faktor ini saling berkaitan dan memperlihatkan bahwa pernikahan dini bukan sekadar keputusan pribadi, tetapi juga dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan ekonomi yang melingkupinya. Akibatnya, permohonan dispensasi kawin di pengadilan agama terus meningkat setiap tahun. Padahal, perkawinan di usia muda sering menimbulkan dampak jangka panjang, seperti ketidaksiapan mental, gangguan kesehatan reproduksi, hingga tingginya angka perceraian dini. Fenomena ini menunjukkan bahwa pernikahan dini bukan hanya masalah hukum, tetapi juga cermin dari rendahnya literasi hukum, pendidikan, dan kesadaran sosial di tengah masyarakat. Sebagian orang tua beranggapan bahwa menikahkan anak lebih cepat dapat menjaga kehormatan keluarga atau meringankan beban ekonomi, padahal keputusan tersebut sering diambil tanpa mempertimbangkan kesiapan mental dan masa depan anak. Padahal, keluarga seharusnya menjadi benteng pertama dalam melindungi anak, memberikan pemahaman tentang tanggung jawab hidup berumah tangga, serta menanamkan pentingnya pendidikan dan perencanaan masa depan. Ketika keluarga berperan aktif mendidik dan membimbing, maka keinginan anak untuk menikah dini dapat ditekan, dan permohonan dispensasi kawin di pengadilan pun akan semakin berkurang.
Pernikahan dini dipengaruhi oleh berbagai faktor, di antaranya peran orang tua dalam komunikasi keluarga, tingkat pendidikan orang tua, serta pendidikan anak itu sendiri. Dari beberapa penelitian, faktor yang paling dominan adalah kurangnya komunikasi efektif dalam keluarga, yang berpengaruh besar terhadap keputusan anak untuk menikah muda. (Tyas, 2017) Selain itu, nilai-nilai sosial dan budaya juga turut mendorong praktik perkawinan dini, terutama di lingkungan yang masih memandang perkawinan sebagai jalan keluar dari tekanan sosial atau ekonomi.
Meskipun angka pernikahan usia muda tidak tergolong tinggi, namun trennya terus meningkat setiap tahun, dan hal ini berdampak pada rendahnya kesiapan emosional serta kualitas rumah tangga yang dibangun. Faktor pendidikan menjadi kunci utama: semakin tinggi pendidikan seseorang dan orang tuanya, semakin rendah kecenderungan menikah di usia dini. Pendidikan tidak hanya mempengaruhi pola pikir dan kemampuan mengambil keputusan, tetapi juga meningkatkan kesadaran akan risiko kesehatan dan sosial akibat perkawinan anak. Perempuan yang berpendidikan lebih tinggi cenderung menunda pernikahan untuk fokus pada pendidikan dan karier. Sebaliknya, pendidikan rendah seringkali membuat seseorang kurang memahami pentingnya kesiapan dalam berumah tangga. (Amelia, 2017)
Selain itu, pendidikan orang tua berperan besar dalam pembentukan sikap dan keputusan anak. Orang tua dengan pengetahuan baik tentang kesehatan reproduksi dan risiko perkawinan dini akan lebih mampu membimbing anak agar menunda pernikahan sampai cukup usia. Dengan demikian, pendidikan keluarga dan komunikasi yang terbuka menjadi faktor penting dalam mencegah terjadinya pernikahan usia muda.
- Bagaimana peran orang tua dan pendidikan agama dalam mencegah terjadinya perkawinan anak?
Orang tua memiliki tanggung jawab utama terhadap tumbuh kembang anak, baik dari segi pengasuhan, pendidikan, maupun pembentukan karakter. Dalam keluarga, mereka merupakan pendidik pertama dan utama yang membimbing anak mengenal nilai-nilai moral, sosial, dan agama. Berdasarkan Undang-undang (UU) Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, orang tua diwajibkan untuk mengasuh, memelihara, mendidik, melindungi anak, serta mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak serta memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi luhur pekerti pada anak. Namun, dalam kenyataannya, masih sering dijumpai kasus pernikahan dini yang justru mendapat dukungan dari orang tua, baik karena alasan ekonomi, budaya, maupun tekanan sosial.
Peran orang tua sangat diperlukan dalam mencegah terjadinya perkawinan anak, kaitannya dengan kewajiban dan tanggungjawab keluarga dan orang tua terhadap anak sesuai dalam Pasal 26 Undang-undang (UU) Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Bahwa orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:
- Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak;
- Menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya;
- Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak;
- Memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi luhur pekerti pada anak.
Padahal, Pasal 26 ayat (1) huruf (a) dan (c) UU Perlindungan Anak secara tegas menegaskan bahwa orang tua memiliki kewajiban mencegah perkawinan anak dan memastikan anak tumbuh dalam lingkungan yang aman dan mendukung. Dalam upaya pencegahan tersebut, peran orang tua dapat diwujudkan melalui berbagai aspek, antara lain:
- Pendidikan, dengan menanamkan nilai agama dan menekankan pentingnya pendidikan sebagai bekal hidup, sekaligus memberikan pemahaman tentang risiko pernikahan dini.
- Perlindungan, dengan menciptakan lingkungan yang aman dan meminimalkan potensi perilaku berisiko yang dapat memicu pernikahan anak.
- Keteladanan, dengan menunjukkan sikap dan perilaku yang mencerminkan nilai-nilai agama dan kedewasaan dalam berumah tangga.
- Religiusitas, dengan membimbing anak melalui kegiatan keagamaan, menciptakan suasana religius di rumah, serta menjadi teladan dalam beribadah.
- Sosialisasi, dengan mengajarkan anak untuk menjalin hubungan yang sehat, memahami tanggung jawab sosial, dan menghormati diri sendiri.
- Ekonomi, dengan mengelola keuangan keluarga secara bijak agar anak dapat melanjutkan pendidikan tanpa tekanan untuk menikah muda.
Melalui peran-peran tersebut, orang tua diharapkan mampu menjadi benteng utama dalam mencegah praktik pernikahan dini, sekaligus memastikan anak-anak tumbuh menjadi generasi yang mandiri, berpendidikan, dan siap menghadapi masa depan. (Kiwe, 2017)
Pendidikan merupakan proses pembentukan sikap dan perilaku manusia agar menjadi pribadi yang matang, baik melalui pengalaman hidup maupun pengajaran formal. Salah satu bentuk pendidikan yang penting namun sering diabaikan adalah pendidikan seks, yaitu usaha memberikan pemahaman kepada anak tentang seksualitas, masa pubertas, organ reproduksi, serta etika pergaulan dengan lawan maupun sesama jenis. Pemahaman yang keliru tentang pendidikan seks sering kali menjadi penyebab munculnya perilaku menyimpang, terutama di kalangan remaja. Lingkungan sosial juga memiliki pengaruh besar dalam membentuk cara pandang dan perilaku seksual anak muda, termasuk di kalangan remaja Muslim. (A. Octamaya Tenri Awaru, 2021)
Dalam ajaran Islam, anak yang telah mencapai usia mumayyiz dianjurkan untuk mulai dikenalkan pada pendidikan seksual sesuai nilai-nilai agama, agar siap menghadapi perubahan fisik dan emosional selama masa pertumbuhannya. Namun, di era digital yang serba terbuka, informasi tentang seks mudah diakses tanpa batas, sering kali tanpa bimbingan yang tepat. Hal ini berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan mental dan moral anak, karena mereka dapat salah memahami makna seksualitas. Islam sendiri memiliki pandangan yang seimbang dan rasional tentang seks — bukan untuk dihindari, tetapi untuk dikelola secara benar sesuai tuntunan syariat. Seks dipandang sebagai kebutuhan fitrah manusia yang harus dijalankan dengan tanggung jawab, dalam ikatan pernikahan, dan berdasarkan aturan agama yang menjaga kehormatan serta kesejahteraan umat. Pendidikan memiliki peran yang sangat penting dalam mengembangkan kepribadian Islami pada anak sesuai dengan ajaran agama Islam. Alquran, sebagai sumber kebenaran yang kaya akan kebaikan, memberikan petunjuk menuju kedamaian.
Pendidikan agama Islam berperan penting dalam menanamkan pemahaman tentang hak-hak individu, termasuk hak memperoleh pendidikan dan menentukan jalan hidup sendiri. Melalui pemahaman yang benar terhadap ajaran Islam, masyarakat dapat menyadari bahwa pernikahan dini dapat menghambat pendidikan, membatasi perkembangan diri, serta berdampak buruk bagi kesehatan fisik dan mental. Oleh karena itu, pendidikan agama Islam berfungsi sebagai sarana pembentukan kesadaran moral dan sosial untuk menunda pernikahan hingga usia yang matang. Selain itu, pendidikan ini juga menjadi instrumen dalam menumbuhkan kesadaran kolektif tentang pentingnya menghormati hak asasi manusia dan mencegah praktik pernikahan dini. (Andi Arif Pamessangi, 2024)
Kesimpulan
Pernikahan dini di Indonesia masih menjadi persoalan sosial yang kompleks dan berakar pada berbagai faktor, seperti rendahnya tingkat pendidikan, kemiskinan, pengaruh budaya, serta lemahnya komunikasi dan bimbingan dalam keluarga. Rendahnya pendidikan menyebabkan kurangnya pemahaman tentang risiko dan dampak jangka panjang pernikahan di usia muda, baik secara fisik, mental, maupun sosial. Sementara tekanan ekonomi dan budaya sering membuat orang tua justru mendorong anak untuk menikah lebih cepat tanpa mempertimbangkan kesiapan emosional dan masa depan mereka.
Dalam konteks ini, peran orang tua dan pendidikan agama Islam sangatlah penting. Orang tua memiliki tanggung jawab utama sebagaimana diatur dalam Undang-undang (UU) Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, yakni untuk mengasuh, melindungi, mendidik, dan mencegah anak menikah di usia dini serta memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi luhur pekerti pada anak. Melalui pendidikan, keteladanan, dan lingkungan keluarga yang religius serta mendukung, orang tua dapat menjadi benteng utama dalam mencegah praktik perkawinan anak.
Sementara itu, pendidikan agama Islam berperan membentuk kesadaran moral dan spiritual, menanamkan nilai tanggung jawab, serta mengajarkan pentingnya kesiapan lahir dan batin sebelum menikah. Pemahaman agama yang benar dapat membantu remaja memahami hak-haknya, termasuk hak memperoleh pendidikan dan menentukan masa depan. Islam juga menekankan bahwa seksualitas adalah fitrah manusia yang harus dijaga dan dikelola sesuai tuntunan syariat, bukan dihindari atau disalahartikan.
Dengan demikian, upaya mencegah pernikahan dini harus dilakukan secara menyeluruh melalui peningkatan pendidikan, penguatan peran keluarga, serta penanaman nilai-nilai agama yang benar. Sinergi antara pendidikan umum, pendidikan agama, dan pembinaan keluarga menjadi kunci dalam menciptakan generasi muda yang berpendidikan, berakhlak, dan siap membangun rumah tangga yang berkualitas di usia yang matang.
Bibliography
A. Octamaya Tenri Awaru. (2021). Sosiologi Keluarga. Bandung: CV. Media Sains Indonesia.
Amelia, R. M. (2017). Pengaruh penyuluhan terhadap pengetahuan remaja . Dinamika Kesehatan: Jurnal Kebidanan Dan Keperawatan,, 90.
Andi Arif Pamessangi, H. M. (2024). Edukasi Pencegahan Pernikahan Dini melalui pendidikan Agama Islam . Madaniya, Vol. 5, No. 2, 719-720.
BADAN PUSAT STATISTIK. (2018). Statistik Kesejahteraan Rakyat Welfare Statistik 2018.
BPS, BAPPENAS, PUSKAPA, UI, UNICEF. (2020). Pencegahan Perkawinan Anak Percepatan yang Tidak Bisa Ditunda.
Candra, m. (2021). Pembaruan Hukum Dispensasi Kawin dalam Sistem Hukum Indonesia. Jakarta: Kencana-PrenadaMedia Group.
Kiwe, L. (2017). Mencegah Pernikahan Dini. Yogyakarta: Ar Ruzz Media.
Ramdhan, M. (2021). Metode Penlitian. Surabaya: Cipta Media Nusantara.
Sembiring, R. (RajaGrafindo Persada). Hukum Keluarga Harta-harta Benda dalam Perkawinan. Depok: 2020.
Tyas, P. F. (2017). Kualitas pernikahan dan kesejahteraan keluarga menentukan . Jurnal Ilmu Keluarga & Konsumen 10(1), 1–12. .
