Arsip Artikel
MENGHITUNG BESARAN NAFKAH ISTRI DAN ANAK PASCA PERCERAIAN
A. Syafiul Anam[1]
A. PENDAHULUAN
Pernikahan merupakan salah satu ibadah yang disyariat dalam agama islam yang sangat sakral dan suci. Dalam Kompilasi Hukum Islam pada Pasal 2, dijelaskan bahwa; “perkawinan adalah akad yang sangat kuat atau mitsaqan gholidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.” Salah satu tujuan dari pernikahan adalah terciptanya keluarga yang penuh ketentraman, penuh kasih sayang dan penuh cinta yang biasa disebut dengan rumah tangga sakinah, mawaddah, warrahmah.
Tujuan dan cita – cita sebuah pernikahan akan terwujud ketika suami dan istri menjalankan kewajibannya masing-masing. Dengan melaksanakan kewajiban masing-masing, maka hak yang harus diterima oleh pasangan suami istri pasti juga akan terpenuhi. Pada kehidupan nyata, banyak perkawinan yang tidak berakhir dengan bahagia dan jauh dari cita-cita perkawinan itu sendiri. Diantara penyebab ketidakharmonisan dalam rumah tangga adalah perlakuan kekerasan dari suami kepada istrinya yang membuat seorang istri tidak sanggup lagi untuk hidup bersama dengan suaminya. Angka kekerasan terhadap istri menurut Komnas Perempuan pada tahun 2020 adalah sejumlah 3.221 kasus[2]. Suami dengan perlakuan kasar terhadap istrinya tentunya akan menimbulkan penderitaan baik secara fisik ataupun mental yang mengakibatkan suatu sikap bagi perempuan untuk mengakhiri perkawinannya di Pengadilan Agama dengan cara mengajukan gugatan cerai di Pengadilan Agama (Cerai Gugat).
Cerai gugat adalah cerai yang diajukan oleh pihak istri. Gugatan cerai yang diajukan oleh seorang perempuan ke pengadilan Agama kebanyakannya diputus dengan putusan talak ba’in sughra dengan konsekwensi talak yang tidak boleh dirujuk tetapi boleh akad nikah baru dengan bekas isterinya meskipun dengan masa Iddah[3]. Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)[4], talak ba’in sughra adalah talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam Iddah. Kategori talak ba’in sughra, yaitu:
- Talak yang terjadi qobla al-dukhul;
- Talak dengan tebusan atau khuluk; dan
- Talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama.
Salah satu akibat dari sebuah perceraian adalah pembebanan nafkah kepada mantan suami untuk diberikan kepada mantan istri baik dalam cerai talak maupun cerai gugat. Dalam Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, terkait nafkah setelah perceraian antara suami isteri telah diatur dalam Pasal 41 Huruf c UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan menyebutkan bahwa Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.
Lebih jelas lagi, Mahkamah Agung telah menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 3 Tahun 2018 poin 3 Hasil Pleno Kamar Agama mengenai Kewajiban suami akibat perceraian terhadap istri yang tidak nusyuz, mengakomodir Perma Nomor 3 tahun 2017 tentang pedoman mengadili perkara Perempuan berhadapan dengan Hukum, maka isteri dalam perkara cerai gugat dapat diberikan mut’ah dan nafkah Iddah, sepanjang tidak terbukti nusyuz”[5]. Sehingga berdasarkan SEMA tersebut, tidak menutup kemungkinan dalam perkara Cerai Gugat pihak Penggugat (istri) memperoleh mut’ah dan nafkah Iddah dari suaminya sepanjang terbukti tidak Nusyuz.
Terkait metode atau cara pembayaran nafkah istri pasca perceraian dalam cerai gugat, Mahkamah Agung telah mengelurkan pedoman melalui SEMA No 02 tahun 2019 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung tahun 2019 sebagai Pedoman tugas bagi Aparat Pengadilan tentang rumusan Kamar Agama, bahwa dalam rangka melaksanakan PERMA No 3 tahun 2007 tentang pedoman mengadili Perkara Perempuan berhadapan dengan hukum untuk memberikan perlindungan hukum bagi hak-hak perempuan pasca perceraian, maka apabila ada pembebanan kewajiban bagi suami dalam cerai gugat seperti nafkah Iddah dan lainnya, maka amarnya dapat dirumuskan dengan “yang dibayar sebelum tergugat mengambil akta cerai.
Meskipun dasar hukum pemberlakuan Kedudukan SEMA diatur dalam Pasal 79 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU MA). SEMA, berdasarkan Undang-Undang tersebut dapat kita golongkan sebagai aturan kebijakan (bleidsregel) berperan untuk mengisi kekosongan hukum terhadap materi yang belum diatur dalam undang-undang. Dimasa lampau SEMA selain dipergunakan dalam memberikan petunjuk, arahan, larangan, maupun perintah, SEMA juga digunakan Mahkamah Agung dalam memecahkan persoalan hukum terkait peraturan perundang-undangan yang tidak sesuai dengan rasa keadilan rakyat Indonesia saat itu. Dengan mengacu kepada ketentuan Pasal 8 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan, SEMA yang didasari ketentuan pasal 79 Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung memiliki kekuatan hukum mengikat dan dapat digolongkan sebagai peraturan perundang-undangan[6].
PERMA dan SEMA yang telah diterbitkan oleh Mahkamah Agung tentu saja harus menjadi pedoman bagi Hakim dalam mengadili perkara di Pengadilan. Sehingga cukuplah dengan PERMA dan SEMA tersebut Hakim memberikan hak-hak kepada istri yang mengajukan gugatan cerai selama istri tersebut tidak Nusyuz dan tamkin melaksanakan kewajiban sebagai seorang istri. Selanjutnya yang menjadi permasalahan adalah ketentuan Nusyuz istri dan pedoman untuk menentukan jumlah nafkah kepada istri pasca perceraian serta masalah yang dihadapi dalam menentukan nafkah kepada istri pasca perceraian.
Selengkapnya KLIK DISINI
[1] Hakim PA Batulicin
[3] HS Al-Hamdani, 1989. Risalah Nikah Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Pustaka Amani, hlm. 238
[4] Kompilasi Hukum Islam Pasal 119 Ayat (1) dan Ayat (2)
[5] Lihat SEMA Nomor 03 Tahun 2018 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2018 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan Hal 14 s/d 15.
[6] Lihat Irwan Adi Cahyadi, Jurnal Kedudukan SEMA dalam Hukum Positif Indonesia, http://hukum.studentjournal.ub.ac.id/index.php/hukum/article/view diakses tanggal 17 Sept 2020 jam 15.35